KomunikasiUIN Walisongo Semarang. Penulis menyadari, bahwa skripsi ini tidak dapat terselesaikan secara baik tanpa ada bantuan dari semua pihak yang dengan suka rela dan penuh rasa ikhlas. Oleh karena itu penulis secara khusus menyampaikan ucapan terimakasih kepada: 1. Bapak Dr. Ilyas Supena, M.Ag selaku Dekan Fakultas
NamunWali Songo satu sama lain mempunyai keterkaitan erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan sebagai guru dan murid. Berikut adalah hubungan antar para Walisongo: Maulana Malik Ibrahim yang tertua. Sunan Ampel anak Maulana Malik Ibrahim. Sunan Giri adalah keponakan Maulana Malik Ibrahim yang berarti juga sepupu Sunan Ampel.
KerajaanIslam pertama di Nusantara adalah Samudera Pasai yang berada di Pulau Sumatera. Para pedagang tersebut selain berdagang juga memperkenalkan dan menyebarkan agama Islam. Baca juga: Yenny 3 Kucing Berziarah ke Makam Walisongo dan Gus Dur. Bahkan terjadi perkawinan antara pedagang dengan wanita pribumi.
Namamasjid tersebut adalah masjid Agung Cirebon atau juga dikenal dengan nama Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Peninggalan Walisongo Masjid Menara Kudus Bukan hanya dakwah islam yang diberikan 9 wali kepada masyarakat Indonesia Tetapi para wali juga meninggalkan bukti sejarah baik berupa benda dan budaya yang masih bisa kita lihat sampai saat ini
GLAPANGUMREGAH Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Sholawat serta salam kami haturkan kepada Nabi Muhammad SAW. Semoga kita termasuk umat yang kelak mendapat syafaatnya. Kuliah Kerja Nyata Dari Rumah (KKN-DR) ke 75 ini merupakan
untukmemiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara". Dalam pengertian di atas, dapat terlihat bahwa kesimpulannya adalah agar peserta didik dapat mengembangkan potensi di
i5VoBL8. - Era Wali Songo menandai berakhirnya dominasi Hindu-Buddha di nusantara, untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Wali Songo adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Sebagai penyebar agama Islam, nama mereka sudah sangat dikenal di kehidupan masyarakat tetapi, Wali Songo lebih sering dipanggil dengan gelarnya sebagai Sunan, daripada nama aslinya. Dalam budaya Jawa, Sunan adalah singkatan dari susuhunan, yakni sebutan bagi orang yang diagungkan atau dihormati karena kedudukan dan jasanya di masyarakat. Berikut ini tabel nama-nama Wali Songo beserta nama aslinya. Nama gelar Wali Songo Nama asli Wali Songo Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim Sunan Ampel Raden Rahmatullah Sunan Giri Muhammad Ainul Yaqin Sunan Bonang Maulana Makdum Ibrahim Sunan Drajat Raden Qasim Sunan Kalijaga Raden Mas Syahid Sunan Muria Raden Said Sunan Kudus Jaffar Shadiq Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah Baca juga Wali Songo Penyebar Islam di Tanah Jawa Sunan Gresik Nama asli Sunan Gresik adalah Maulana Malik Ibrahim atau Makdum Ibrahim lahir di Samarkand, Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Babad Tanah Jawi versi Meinsma menyebutnya Asmarakandi, mengikuti pengucapan lidah Jawa terhadap As-Samarkandy. Maulana Malik Ibrahim terkadang juga disebut sebagai Syekh Magribi. Sunan Ampel Raden Rahmatullah atau Sunan Ampel dilahirkan pada sekitar 1401 Masehi di Champa. Ia adalah putra Sunan Gresik yang kemudian menikah dengan putri Tuban bernama Nyai Ageng Manila. Dari perkawinannya itu, Raden Rahmatullah memperoleh keturunan Putri Nyai Ageng Maloka, Maulana Makdum Ibrahim Sunan Bonang, Syarifuddin Sunan Drajat, dan Putri Istri Sunan Kalijaga. Sunan Giri Sunan Giri mempunyai nama asli Muhammad Ainul Yaqin. Di samping itu, ia mempunyai banyak julukan, yakni Raden Paku, Prabu Satmata, Sultan Abdul Faqih, dan Joko Samudro. Muhammad Ainul Yaqin adalah keturunan ke-23 Nabi Muhammad yang kemudian menjadi murid Sunan Ampel. Ayahnya adalah Maulana Ishaq, seorang mubaligh dari Asia Tengah, sementara ibunya adalah Dewi Sekardadu, putri penguasa Blambangan pada periode akhir Kerajaan Majapahit. Baca juga Moh Limo, Ajaran Dakwah Sunan Ampel Sunan Bonang Sunan Bonang merupakan putra Sunan Ampel yang memiliki nama asli Maulana Makdum Ibrahim. Lahir di Bonang, Tuban, pada 1465, ia telah diajarkan disiplin yang ketat sedari kecil. Sunan Ampel menamainya Maulana Makdum, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam Drajat Sunan Drajat adalah adik Sunan Bonang yang mempunyai nama asli Raden Qasim. Raden Qasim disebut sebagai seorang wali yang hidupnya paling bersahaja, walaupun dalam urusan dunia juga sangat rajin mencari rezeki. Di kalangan rakyat jelata, ia dikenal sebagai pribadi yang lemah lembut dan sering menolong orang-orang yang menderita. Sunan Kalijaga Sunan Kalijaga diperkirakan lahir pada 1450 dengan nama Raden Mas Syahid. Ia adalah putra adipati Tuban yang bernama Raden Sahur Tumenggung Wilatikta. Sunan Kalijaga juga dikenal dengan nama lain Lokajaya, Syekh Malaya, Pangeran Tuban, dan Raden Abdurrahman. Berdasarkan satu versi masyarakat Cirebon, nama Kalijaga berasal dari Desa Kalijaga di Cirebon. Pada saat berendam di sana, ia sering berendam di sungai kali atau dalam bahasa Jawa disebut jaga kali. Baca juga Sunan Kalijaga, Berdakwah Lewat Wayang Sunan Muria Sunan Muria lahir dengan nama Raden Said atau Raden Umar Said. Ketika kecil, ia juga dikenal dengan nama Raden Prawoto. Nama Muria diambil dari tempat tinggal terakhirnya di lereng Gunung Muria, yang terletak 18 kilometer ke utara Kota Kudus. Raden Said adalah putra Sunan Kalijaga yang juga memiliki pertalian keluarga dengan Sunan Giri, dari garis ibunya. Sunan Kudus Sunan Kudus memiliki nama asli Jaffar Shadiq. Ia adalah putra Sunan Ngundung dan Syarifah, adik Sunan Bonang. Jaffar Shadiq banyak berguru kepada Sunan Kalijaga, oleh karena itu caranya mendekati masyarakat Kudus adalah dengan sangat toleran terhadap budaya setempat yang masih kental dengan ajaran Hindu-Buddha. Salah satu peninggalan Sunan Kudus yang paling terkenal adalah Masjid Menara Kudus, yang arsiteknya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sunan Gunung Jati Nama asli Wali Songo ini adalah Syarif Hidayatullah, yang juga dikenal sebagai pendiri Kesultanan Cirebon. Dengan begitu, Sunan Gunung Jati merupakan satu-satunya Wali Songo yang memimpin pemerintahan. Ia adalah putra pembesar Mesir keturunan Bani Hasyim dari Palestina. Sedangkan dari pihak ibu, Sunan Gunung Jati masih keturunan Pajajaran. Referensi Restianti, Hetti. 2013. Mengenal Wali Songo. Bandung TITIAN ILMU. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Ilustrasi dari sampul buku "Bandit Saints of Java How Java's eccentric saints are challenging fundamentalist Islam in modern Indonesia" karya George Quinn. Dalam berbagai kitab sejarah dan babad Jawa, Syekh Jumadil Kubra disebut sebagai leluhur Walisongo. Petilasan yang diyakini sebagai makamnya berada di beberapa tempat di Jawa. Banyak orang datang untuk ziarah. Agus Sunyoto dalam Atlas Walisongo menghimpun berbagai sumber lokal tentang Syekh Jumadil Kubra. Dalam Kronika Banten, Syekh Jumadil Kubra digambarkan sebagai nenek moyang Sunan Gunung Jati. Ceritanya, Ali Nurul Alam, putra Syekh Jumadil Kubra, tinggal di Mesir dan memiliki anak bernama Syarif Abdullah. Syarif Abdullah memiliki anak bernama Syarif Hidayatullah yang kemudian menjadi Sunan Gunung Jati. Dalam Babad Cirebon disebutkan bahwa Syekh Jumadil Kubra sebagai leluhur Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang, Sunan Ampel, dan Sunan Kalijaga. Kronika Gresik menyebut Syekh Jumadil Kubra memiliki hubungan darah dengan Sunan Ampel dan tinggal di Gresik. Putranya, Maulana Ishaq dikirim ke Blambangan untuk menyebarkan ajaran Islam. Maulana Ishaq adalah ayah Sunan Giri. “Jadi, Syekh Jumadil Kubra, menurut versi ini, adalah kakek dari Sunan Giri,” tulis Agus. Sementara itu, Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java mencatat bahwa Syekh Jumadil Kubra bukanlah moyang para wali, tapi pembimbing wali pertama. Raden Rahmat yang kelak menjadi Sunan Ampel, datang dari Champa ke Palembang. Dari sana, ia kemudian ke Gresik untuk menemui Syekh Molana Jumadil Kubra, seorang ahli ibadah yang tinggal di Gunung Jali. Menurut Syekh Molana Jumadil Kubra kedatangan Raden Rahmat telah diramalkan oleh Nabi. Ia dipilih untuk membawa ajaran Nabi di pelabuhan timur Pulau Jawa. Karenanya keruntuhan agama kafir telah dekat. Babad Tanah Jawi menuturkan bahwa Syekh Jumadil Kubra adalah sepupu Sunan Ampel. Ia hidup sebagai pertapa di hutan dekat Gresik. Kisah Syekh Jumadil Kubra sebagai pertapa menjadi legenda di sekitar lereng Gunung Merapi, di utara Yogyakarta. Ia diyakini sebagai wali tertua yang berasal dari Majapahit. Ia hidup bertapa di hutan Lereng Merapi. “Syekh Jumadil Kubra dalam legenda itu diyakini berusia sangat tua sehingga dipercaya menjadi penasihat rohani Sultan Agung,” tulis Agus. Kisah Syekh Jumadil Kubra yang bernuansa perkawinan sedarah terdapat dalam Babad Pajajaran. Saudara Sunan Ampel itu hidup sebagai pertapa di hutan dekat Gresik. Ia ditinggal mati istrinya ketika melahirkan. Putrinya tumbuh menjadi gadis cantik. Suatu hari, Jumadil Kubra melakukan hubungan badan dengannya hingga menghasilkan seorang putra. Karena malu, ia menceburkan diri ke sungai dan tenggelam. Ia dimakamkan di Gresik. Kendati namanya melegenda seantero Jawa, sejarawan Belanda, Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat mendapati keanehan dalam namanya. Jumadil lebih mengingatkan kepada nama bulan ketimbang nama manusia. Nama ini adalah versi ingatan orang Jawa dari seorang penyebar Islam asal Asia Tengah. Jejak Tarekat Kubrawiyah Van Bruinessen menjelaskan bahwa nama Jumadil Kubra merupakan penyimpangan dari Najmuddin al-Kubra. Di Jawa, pengucapan namanya berubah menjadi Najumadinil Kubra. Selanjutnya melalui penghilangan bunyi suku kata pertama dan penyingkatan suku kata keempat dan kelima, penyebutan namanya berubah lagi menjadi Jumadil Kubra. Jumadil Kubra memang mirip nama Arab tapi melanggar tata bahasa Arab. Kata Arab, Kubra, adalah kata sifat dalam bentuk mu’annats feminin, bentuk superlatif dari kata Kabir yang artinya besar. Sementara itu, bentuk kata mudzakkar maskulin yang sesuai adalah akbar. “Aneh, menjumpai kata al-Kubra, yang mahabesar’, sebagai bagian nama seorang laki-laki,” tulis Van Bruinessen. Dalam sejarah keilmuan Islam, Najmuddin al-Kubra adalah satu-satunya tokoh terkemuka yang diberi gelar “Kubra”. Ia mendirikan tarekat Kubrawiyah yang berkembang di Iran dan Asia Tengah pada abad ke-13 hingga ke-17. “Ia sering kali hanya disebut dengan nama Kubra, menyebarkan ajarannya di Khwarizm Asia Tengah, dan wafat di sana pada 1221,” tulis Van Bruinessen. Baca juga Dua Wali dalam Konflik Demak Tarekat Kubrawiyah kemudian menjadi salah satu aliran tasawuf paling awal yang masuk ke Nusantara. “Aliran tasawuf yang berkembang paling awal adalah Akmaliyah dan Syathariyah kemudian disusul Kubrawiyah, Haqmaliyah, Samaniyah, Rifa’iyah, Khalwatiyah, Naqsyabandiyah, Qadiriyah, dan lain-lain,” tulis Agus. Kendati keberadaan Kubrawiyah tak tercatat di Indonesia, Syekh Jumadil Kubra menjadi jejak meyakinkan adanya pengaruh tarekat itu pada awal perkembangan Islam di Jawa. Nama Najmuddin Kubra dan silsilah tokoh Kubrawiyah lainnya disebut dalam beberapa babad, terutama Sajarah Banten Rante-Rante, sebagai guru dan teman seperguruan Sunan Gunung Jati ketika belajar di Makkah. “Dengan kata lain, babad ini menunjukkan Najmuddin Kubra dan spiritualitasnya, tarekat Kubrawiyah, sebagai inspirasi utama Islam sufi yang berkembang di Indonesia,” tulis Van Bruinessen. Peng-Arab-an Jumadil Kubra Versi lain menyebut para sayid keturunan Nabi dari Hadramaut punya pengaruh besar terhadap Islam di Indonesia. Mereka datang ke Nusantara dalam jumlah besar baru pada abad ke-19. Namun, para pedagang dan ulama telah sampai dan menetap di Jawa selama beberapa abad. Menurut mereka, para wali yang mengislamkan Jawa dan wilayah lain di Asia Tenggara adalah keturunan para sayid dari Hadramaut. Orang yang dianggap sebagai leluhur bersama mereka bernama Jamaluddin Husain al-Akbar. “Kiai Jawa cenderung mempercayai versi ini daripada versi babad, yang di antara keduanya terdapat banyak kesejajaran,” tulis Van Bruinessen. Baca juga Awal Mula Datangnya Orang Arab ke Nusantara Kisah Jamaluddin al-Akbar banyak persamaannya dengan Jumadil Kubra yang dikisahkan dalam babad. Kendati begitu, menurut Van Bruinessen, versi babad lebih asli daripada versi para sayid. Cerita Jamaluddin al-Akbar versi para sayid adalah bentuk upaya pada abad ke-20 awal untuk “mengoreksi” legenda-legenda Jawa. Dalam hal ini mereka mengganti nama Jumadil Kubra, yang telah lebih dulu populer sebagia leluhur para wali, dengan nama Jamaluddin al-Akbar. Kata sifat Kubra diganti dengan kata Arab yang lebih tepat, yaitu al-Akbar. Nama Jumadil diganti dengan nama Arab yang paling mirip, yaitu Jamaluddin. “Bahkan sebuah silsilah yang lebih meyakinkan direkonstruksi,” tulis Van Bruinessen. Begitu juga berbagai legenda yang berbeda dan tak cocok satu sama lain mengenai Jumadil Kubra digabungkan ke dalam keseluruhan kisah yang dibuat lebih koheren. Unsur yang tak sesuai dengan Islam, seperti perkawinan sedarah juga dibuang. Menurut Van Bruinessen, upaya merevisi kisah tentang Jumadil Kubra adalah perumpamaan bagi metamorfosis sejarah Islam Indonesia. Perubahan nama Najmuddin al-Kubra menjadi Jumadil Kubra, lalu berubah lagi menjadi Jamaluddin al-Akbar bukan cuma soal evolusi bahasa. Sebagai seorang sufi Asia Tengah berbahasa Persia, Jumadil Kubra mewarisi tradisi spiritual Iran. Mungkin saja ia dipengaruhi oleh amalan-amalan Tantrisme. Ini yang membuat ajarannya menarik bagi orang Jawa, karena mudah ditempelkan kepada peninggalan berbagai tradisi Tantrik pra-Islam. “Karena itu memudahkannya diterima ke dalam ajaran tasawuf batiniah Islam,” tulis Van Bruinessen. “Perubahan namanya menjadi Jamaluddin al-Akbar menunjukkan perhatian yang meningkat pada peng-Arab-an secara bertahap Islam Jawa secara umum.” Pendapat itu memang sekadar hipotesis. Jejak Najmuddin al-Kubra dan ajaran yang dibawanya di Nusantara pun masih samar. Ia sendiri tak pernah datang ke Nusantara, karena hidup jauh sebelum orang-orang di Nusantara mulai naik haji. Namun, menurut Van Bruinessen, amalan sufi Kubrawiyah yang telah mengilhami Walisongo paling tidak diabadikan dalam nama simboliknya Jumadil Kubra.
Kisah Wali Songo – Siapa yang tidak kenal Wali Songo? Mereka dikenal seseorang yang gigih menyebarkan ajaran agama Islam pada abad ke 14 di tanah Jawa. Para Wali Songo tersebar di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Mereka cepat dikenal masyarakat luas karena kerap berdakwah tanpa memaksa harus masuk Islam. Masyarakat muslim di nusantara pasti sudah tak asing lagi dengan Wali Songo. Wali memiliki arti wakil, sementara songo memiliki arti sembilan. Dengan demikian, Wali Songo adalah sembilan wakil atau wali Allah SWT. Perjalanan dakwah Wali Songo telah dicatat dalam sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia. Mereka telah meninggalkan banyak jejak dalam berdakwah. Wali Songo membawa perubahan besar terhadap masyarakat Jawa yang dulunya banyak beragama Hindu-Budha. Berikut kisah selengkapnya. Kisah Wali Songo dalam Menyebarkan Islam di Indonesia1. Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah2. Sunan Ampel Raden Rahmat3. Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim4. Sunan Bonang Raden Makhdum5. Kisah Wali Songo Sunan Giri Raden Paku6. Kisah Wali Songo Sunan Drajat Raden Qasim7. Kisah Wali Songo Sunan Muria Raden Umar Said8. Kisah Wali Songo Sunan Kudus Jafar Shadiq9. Kisah Wali Songo Sunan Kalijaga Raden Sahid 1. Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah berperan penting dalam penyebaran Islam di Jawa Barat, khususnya Cirebon. Sunan Gunung Jati adalah pendiri dinasti kesultanan Banten yang dimulai dengan putranya, Sultan Maulana Hasanudin. Pada tahun 1527, Sunan Gunung Jati menyerang Sunda Kelapa di bawah pimpinan panglima perang Kesultanan Demak, Fatahillah. Sunan Gunung Jati merupakan sosok yang cerdas dan tekun dalam menuntut ilmu. Karena kesungguhannya, ia diizinkan ibunya untuk menuntut ilmu ke Makkah. Di sana, dia berguru pada Syekh Tajudin Al-Qurthubi. Tak lama kemudian, ia lanjut ke Mesir dan berguru pada Syekh Muhammad Athaillah Al-Syadzili, ulama bermadzhab Syafi’i. Di sana, Sunan Gunung Jati belajar tasawuf tarekat syadziliyah. Setelah diarahkan oleh Syekh Ataillah, Syarif Hidayatullah memutuskan pulang ke Nusantara untuk berguru pada Syekh Maulana Ishak di Pasai, Aceh. Kemudian, ia melanjutkan perjalanan ke Karawang, Kudus, sampai di Pesantren Ampeldenta, Surabaya. Di sana, ia berguru pada Sunan Ampel. Sunan Gunung Jati lantas diminta untuk berdakwah dan menyebarkan agama Islam di daerah Cirebon dan menjadi guru agama. Ia menggantikan Syekh Datuk Kahfi di Gunung Sembung. Setelah masyarakat Cirebon banyak yang memeluk agama Islam, Syarif Hidayatullah lantas lanjut berdakwah ke daerah Banten. Selama berdakwah di Cirebon, Syarif Hidayatullah menikahi Nyi Ratu Pakungwati, putri dari Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman, penguasa Cirebon saat itu. Di sana, ia mendirikan sebuah pondok pesantren, lalu mengajarkan agama Islam kepada penduduk sekitar. Para santri di sana memanggilnya dengan julukan Maulana Jati atau Syekh Jati. Selain itu, ia juga mendapatkan gelar Sunan Gunung Jati karena berdakwah di daerah pegunungan. Pelajari mengenai Sunan Gunung Jati atau Raden Syarif Hidayatullah melalui buku Wali Sanga Sunan Gunung Jati yang ditulis oleh Nabila Anwar. 2. Sunan Ampel Raden Rahmat Source Sunan Ampel memiliki nama asli Raden Rahmat. Ia memulai dakwahnya dari sebuah pondok pesantren yang didirikan di Ampel Denta, Surabaya. Ia dikenal sebagai pembina pondok pesantren pertama di Jawa Timur. Sunan Ampel memiliki murid yang mengikuti jejak dakwahnya, yaitu Sunan Giri, Sunan Bonang, dan Sunan Drajat. Suatu ketika, Sunan Ampel diberi tanah oleh Prabu Brawijaya di daerah Ampel Denta. Ia lantas mendirikan sebuah masjid. Di sana, masjid tersebut dijaga oleh Mbah Sholeh. Ia sangat terkenal sebagai orang yang selalu menjaga kebersihan. Hal itu juga diakui oleh Sunan Ampel. Hingga suatu hari, Mbah Sholeh meninggal dunia. Ia lantas dimakamkan di samping masjid. Sepeninggal Mbah Sholeh, Sunan Ampel tak kunjung menemukan pengganti penjaga masjid yang serajin Mbah Sholeh. Akibatnya, masjid tak terurus dan kotor. Sunan Ampel kemudian bergumam, “Seandainya Mbah Sholeh masih hidup, pasti masjidnya jadi bersih.” Seketika itu pula sosok serupa Mbah Sholeh muncul. Ia lantas menjalankan rutinitas yang biasa dilakukan Mbah Sholeh, namun tak lama kemudian meninggal lagi dan dimakamkan persis di samping makam Mbah Sholeh. Peristiwa itu terulang hingga sembilan kali. Konon, Mbah Sholeh baru benar-benar meninggal setelah Sunan Ampel meninggal dunia. Metode dakwah dari Kanjeng Sunan Ampel terkenal dengan keunikannya dimana ia melakukan upaya akulturasi dan asimilasi dari aspek budaya pra-Islam dengan Islam, baik melalui jalan sosial, budaya, politik, ekonomi, mistik, kultus, ritual, tradi keagamaan, maupun konsep sufisme yang khas untuk merefleksikan keragaman tradisi muslim secara keseluruhan yang dibahas pada buku Mazhab Dakwah Wasathiyah Sunan Ampel. 3. Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim Sunan Gresik Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Maulana Maghribi Syekh Maghribi. Ia diduga berasal dari wilayah Magribi, Afrika Utara. Namun demikian, hingga saat ini belum diketahui secara pasti sejarah tempat dan tahun kelahirannya. Sunan Gresik diperkirakan lahir pada pertengahan abad ke 14. Ia merupakan guru para wali lainnya. Sunan Gresik berasal dari keluarga muslim yang taat. Kendati ia belajar agama Islam sejak kecil, namun tidak diketahui siapa saja gurunya hingga ia menjadi ulama. Pada abad ke-14, Sunan Gresik ditugaskan untuk menyebarkan agama Islam ke Asia Tenggara. Ia berlabuh di Desa Leran, Gresik. Saat itu, Gresik merupakan bandar kerajaan Majapahit. Tentu saja masyarakat saat itu banyak yang memeluk agama Hindu dan Buddha. Di Gresik, ia menjadi pedagang dan tabib. Di sela-sela itu, ia berdakwah. Sunan Gresik berdakwah melalui perdagangan dan pendidikan pesantren. Pada awalnya, ia berdagang di tempat terbuka dekat pelabuhan agar masyarakat tidak kaget dengan ajaran baru yang dibawanya. Sunan Gresik berhasil mengundang simpati masyarakat, termasuk Raja Brawijaya. Akhirnya, ia diangkat sebagai Syahbandar atau kepala pelabuhan. Tidak hanya jadi pedagang andal, Sunan Gresik juga berjiwa sosial tinggi. Ia bahkan mengajarkan cara bercocok tanam kepada masyarakat kelas bawah yang selama ini dipandang sebelah mata oleh ajaran Hindu. Karena strategi dakwah inilah, ajaran agama Islam secara berangsur-angsur diterima oleh masyarakat setempat. Baca cerita lengkap dari Sunan Gresik atau yang memiliki nama Syekh Maulana Malik Ibrahim pada buku SUnan Gresik Saudagar Yang Berdakwah dibawah ini. 4. Sunan Bonang Raden Makhdum Sunan Bonang adalah salah satu Wali Songo yang menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Jawa. Ia memiliki nama asli Syekh Maulana Makdum Ibrahim, putra dari Sunan Ampel dan Dewi Condrowati Nyai Ageng Manila. Namun, ada versi lain yang mengatakan Dewi Condrowati adalah putri Prabu Kertabumi. Dengan demikian, Sunan Bonang adalah Pangeran Majapahit. Sebab, ibunya adalah putri Raja Majapahit dan ayahnya menantu Raja Majapahit. Sunan Bonang menyebarkan ajaran agama Islam dengan cara menyesuaikan diri terhadap corak kebudayaan masyarakat Jawa. Seperti diketahui, orang Jawa sangat menggemari wayang dan musik gamelan. Karena itulah, Sunan Bonang menciptakan gending-gending yang memiliki nilai-nilai keislaman. Setiap bait lagu ciptaannya diselingi ucapan dua kalimat syahadat sehingga musik gamelan yang mengiringinya kini dikenal dengan istilah sekaten. Grameds dapat membaca kisah hidup Sunan Bonang serta ajaran spiritualnya melalui buku Sunan Bonang Kisah Hidup Sejarah Karomah & Ajaran Spiritual oleh Asti Musman dibawah ini. 5. Kisah Wali Songo Sunan Giri Raden Paku Source Sunan Giri memiliki nama asli Raden Paku. Ia merupakan putra Maulana Ishak. Suatu ketika, ia ditugaskan oleh Sunan Ampel untuk menyebarkan ajaran agama Islam di Blambangan. Semasa hidupnya. Sunan Giri pernah belajar di pesantren Ampel Denta, melakukan perjalanan haji bersama Sunan Bonang. Sepulangnya dari haji, ia singgah di Pasai untuk memperdalam ilmu agama. Saat itu, Sunan Giri mendirikan sebuah pesantren di daerah Giri. Kemudian, ia mengirimkan banyak juru dakwah ke berbagai daerah di nusantara. Sunan Giri juga dikenal sebagai sang ahli tata negara. Bagaimana kisah hidup seorang Sunan Giri? Pelajari hal tersebut melalui buku Sunan Giri Sang Ahli Tata Negara yang bisa kamu dapatkan hanya di Gramedia. 6. Kisah Wali Songo Sunan Drajat Raden Qasim Sunan Drajat Raden Qasim merupakan putra Sunan Ampel. Sunan Drajat merupakan seorang wali yang dikenal berjiwa sosial tinggi. Ia banyak menolong yatim piatu, fakir miskin, dan orang sakit. Ia memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah sosial. Sunan Drajat menyebarkan agama Islam di Lamongan, Jawa Timur. Sunan Drajat merupakan Wali Songo yang memiliki banyak nama, yaitu Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, dan Maulana Hasyim. Pada 1484, ia diberi gelar oleh Raden Patah dari Demak, yaitu Sunan Mayang Madu. Pelajari kisah hidup seorang Sunan Drajat melalui buku Sunan Drajat Merantau Untuk Berdakwah. Ketika Sunan Drajat datang ke Desa Banjaranyar, Paciran, Lamongan, ia mendatangi pesisir Lamongan yang gersang bernama Desa Jelak. Masyarakat sekitar masih menganut agama Hindu dan Buddha. Di desa tersebut, Sunan Drajat membangun mushola untuk beribadah dan mengajarkan agama Islam. Selain itu, Sunan Drajat juga membangun daerah baru di dalam hutan belantara. Ia mengubahnya menjadi daerah yang berkembang, subur, serta makmur. Daerah tersebut bernama Drajat, oleh sebab itu ia diberi gelar Sunan Drajat. 7. Kisah Wali Songo Sunan Muria Raden Umar Said Source Sunan Muria merupakan seorang Wali Songo yang sangat berjasa bagi penyebaran agama Islam di nusantara, terutama di daerah pedesaan. Ia gemar bergaul dengan masyarakat kalangan bawah. Hal itu membuat masyarakat mudah menerima ajaran yang disampaikannya. Membaurnya Sunan Muria dengan masyarakat dikenal dengan istilah “topo ngeli”. Artinya, menghanyutkan diri dalam masyarakat. Sunan Muria berdakwah dengan metode tersebut hingga ke Gunung Muria. Sunan Muria sendiri berasal dari nama Gunung Muria dimana tempat beliau berdakwah, mendirikan masjid dan pesantren, serta tempat beliau dimakamkan kelak. Pelajari kisah hidup beliau secara lengkap melalui buku Sunan Muria Pendakwah Dari Gunung Muria. Selain itu, ia juga berdakwah lewat kesenian seperti gamelan, wayang, dan tembang jawa. Ajaran Sunan Muria meliputi penghayatan kebenaran dan ketaatan pada Allah SWT, wirid, kesederhanaan, kedermawanan, dan ajaran dakwah secara bijak dalam menghadapi budaya masyarakat yang dianut. Karena dakwahnya, ada beberapa hasil kesenian peninggalan Sunan Muria yang masih bisa dipelajari hingga saat ini. Di antaranya tembang Kinanthi dan Sinom. Tembang Kinanthi terkenal karena menceritakan tentang bimbingan dan kasih sayang orang tua kepada anaknya. 8. Kisah Wali Songo Sunan Kudus Jafar Shadiq Sunan Kudus Jafar Sadiq diberi gelar oleh para wali dengan nama Wali Al-ilmi yang memiliki arti orang yang berilmu luas. Sunan Kudus memiliki keahlian khusus dalam bidang agama. Ia juga dipercaya untuk memegang pemerintahan di daerah Kudus. Sunan Kudus merupakan salah satu Wali Songo penyebar agama Islam di Jawa, khususnya wilayah Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan beliau merupakan panglima serta pemimpin peperangan menggantikan ayahnya yang dapat Grameds temukan pada kisah hidupnya dalam buku Sunan Kudus Sang Panglima Perang. Sunan Kudus merupakan putra dari Raden Usman Haji yang bergelar Sunan Ngudung di Jipang Panolan, dekat Blora. Selain belajar agama kepada ayahnya, Sunan Kudus juga belajar kepada beberapa ulama terkenal, seperti Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel. Setelah menimba ilmu agama dari Kyai Telingsing, Sunan Kudus mewarisi ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau meraih cita-cita. Selanjutnya, Sunan Kudus juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun lamanya. Perjuangan Sunan Kudus dalam menyebarkan agama Islam sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan para wali lainnya. Ia senantiasa menempuh jalan kebijaksanaan. Dengan siasat dan taktik itu, masyarakat dapat diajak memeluk agama Islam. Saat itu, masyarakat di Kudus masih banyak yang belum beriman. Tentu saja bukan pekerjaan yang mudah untuk mengajak mereka memeluk agama. Apalagi mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat-istiadat jumlahnya tidak sedikit. Di dalam masyarakat dengan kondisi seperti itulah Sunan Kudus harus berjuang menegakkan agama. 9. Kisah Wali Songo Sunan Kalijaga Raden Sahid Sunan Kalijaga Raden Sahid merupakan anak dari adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta. Ia dikenal sebagai budayawan dan seniman seni suara, seni ukir hingga seni busana. Ia juga menciptakan aneka cerita wayang yang bercorak keislaman. Pelajari kisah hidup Sunan Kalijaga pada buku Sunan Kalijaga Guru Suci Orang Jawa yan telah membuktikan dirinya mampu merubah masa suram dan melewati rintangan yang ada. Dalam berdakwah, Sunan Kalijaga memperkenalkan bentuk wayang yang terbuat dari kulit kambing atau biasa dikenal sebagai wayang kulit. Sebab, pada masa itu wayang populer dilukis pada semacan kertas atau wayang beber. Dalam seni suara, ia menciptakan lagu Dandanggula. Sebelum menjadi ulama, Sunan Kalijaga konon pengalaman hidup sebagai perampok atau begal. Bahkan, ia juga pernah merampok Sunan Bonang. Peristiwa tersebut diyakini terjadi saat Sunan Kalijaga masih berusia muda. Sunan Kalijaga juga dikenal kerap melakukan tindak kekerasan. Aksi perampokan yang dilakukan Sunan Kalijaga diketahui oleh ayahnya. Tumenggung Wilantika pun marah, malu dan merasa namanya tercoreng karena kelakuan buruk sang anak. Ia lantas mengusir Sunan Kalijaga dari rumah mereka. Padahal, yang sebenarnya terjadi adalah Sunan Kalijaga membongkar Gudang Kadipaten untuk membagikan bahan makanan kepada orang-orang yang membutuhkan. Sebab, saat itu masyarakat Tuban hidup sangat memprihatinkan lantaran adanya upeti ditambah musim kemarau panjang. Kendati sudah diusir dari Tuban, Sunan Kalijaga tidak berhenti melakukan aksi pembegalan. Ia bahkan merampok orang-orang kaya di Kadipaten Tuban. Mengetahui hal itu, ayahnya tentu semakin marah. Sunan Kalijaga kembali diusir. Kali ini ia disuruh angkat kaki dari wilayah Kadipaten Tuban. Keluar dari daerah Tuban, Sunan Kalijaga masih juga tidak menghentikan aksi perampokan itu. Bahkan, ia sampai tega meminta harta seorang yang sepuh. Saat itu, Sunan Kalijaga bertemu dengan seseorang di hutan Jati Wangi. Ternyata, orang tua tersebut diketahui sebagai Sunan Bonang. Raden Syahid alias Sunan Kalijaga tidak mengenal orang tua tersebut. Karena masih memiliki jiwa begal, ia berniat untuk membegal Sunan Bonang. Bahkan, Sunan Kalijaga berhasil melumpuhkan Sunan Bonang. Ia pun meminta Sunan Bonang menyerahkan barang disangka, Sunan Bonang menolak permintaan itu. Kemudian, Sunan Kalijaga pun menjelaskan alasannya membegal adalah untuk membantu orang miskin. Dalam cerita versi lainnya, Sunan Kalijaga meminta maaf dan bertobat lantaran Sunan Bonang menasihatinya dan menunjukkan kesaktiannya, yaitu mengubah buah pohon aren menjadi emas. Pertemuan tersebut membuat Sunan Kalijaga bertobat dan langsung memohon agar diperbolehkan menjadi muridnya. Sunan Bonang tentu saja menerima permintaan tersebut. Namun, Sunan Bonang mengajukan suatu syarat, yaitu Sunan Kalijaga harus bersemedi di pinggir kali sampai Sunan Bonang kembali. Sunan Kalijaga pun menyanggupi syarat tersebut. Dikisahkan, Sunan Bonang pun akhirnya kembali ke tempat yang sama setelah tiga tahun lamanya. Ia lantas menemukan tubuh Sunan Kalijaga sudah dirambati oleh rerumputan. Melihat keteguhan hati Sunan Kalijaga, Sunan Bonang pun takjub. Atas peristiwa itu lah kemudian Raden Syahid diberi nama “Sunan Kalijaga”. Artinya, penjaga kali. Selain itu, Sunan Kalijaga juga dapat diartikan sebagai orang yang senantiasa menjaga semua aliran atau kepercayaan yang dianut masyarakat. Sunan Kalijaga menjadi satu-satunya wali yang paham dan mendalami segala pergerakan, aliran atau agama yang hidup di tengah masyarakat. Selain itu, Sunan Kalijaga juga memiliki cara yang unik saat menyebarkan agama Islam di pulau Jawa. Ia berhasil mengenalkan ajaran agama Islam dengan memadukan budaya Jawa seperti wayang. Bahkan, Sunan Kalijaga juga mengarang sebuah tembang Jawa yang sangat terkenal sampai saat ini, yaitu Ilir-Ilir. Begitulah kisah Wali Songo yang perlu Grameds ketahui. Kalau kamu masih penasaran dengan kisah lengkapnya, jangan lupa beli bukunya di Gramedia, ya! Baca juga artikel lain berikut ini Kisah Perang Badar Kisah Nabi Ayyub Kisah Nabi Ibrahim AS Kisah Nabi Adam AS Kisah Nabi Musa AS Kisah Nabi Yunus AS Kisah Nabi Idris AS Kisah Nabi Yusuf AS Kisah Nabi Ibrahim AS ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien
Sejarah penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa tidak lepas dari kisah sembilan wali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Walisongo Walisanga. Sembilan wali itu adalah Syekh Maulana Malik Ibrahim atau Sunan Gresik, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Drajad, Sunan Muria, dan Sunan Gunung Jati. Abad ke-14 merupakan masa berakhirnya Hindu-Budha dalam budaya Nusantara dan kemudian digantikan oleh kebudayaan saat itu Walisongo menjadi simbol penyebaran agama Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya, Gresik, dan Lamongan di Jawa Timur, Demak, Kudus, dan Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Mereka mempunyai peran yang besar dalam mendirikan kerajaan Islam di dari asal katanya, Walisongo berasal dari dua kata, yaitu wali yang berasal dari bahasa Arab waliyullahyang berarti orang yang mencintai dan sekaligus dicintai Allah SWT., dan kata sanga yang berasal dari bahasa Jawa yang berarti sembilan. Sofwan, 20047. Sehingga, Walisongo adalah sembilan orang utama yang dicintai oleh Allah SWT., yang dipandang sebagai ketua kelompok dari sejumlah besar mubaligh yang berdakwah menyebarkan Islam pada dekade awal di seorang wali biasanya digelari dengan sebutan Sunan. Istilah kata sunan berasal dari bahasa Cina suhu-nan yang berarti guru atau pujangga’, atau dari bahasa Jawa suhun/susuhunan yang berarti sangat hormat atau sangat dihormati’.Menurut pendapat, para Walisongo memiliki darah campuran darah Arab, Persia, Campa, China, dengan asli Nusantara. Sebagai contoh antara lain, dalam serat Babad Tanah Jawidisebutkan bahwa Raden Patah adalah peranakan China, dari Prabu Brawijaya dan seorang puteri China / Campa. Sunan Gunung Jati yang sering disebut dengan nama Fatahillah atau Syarif Hidayatullah, menurut beberapa keterangan berasal dari Pasai Aceh.Ada pula yang mengatakan berasal dari keturunan Puteri Rara Santang dari Pajajaran yang menikah dengan Sultan Mesir Lembaga Research & Survey IAIN Wali Songo, 198219-20. Sedangkan, Sunan Kalijaga atau Raden Syahid disebut asli Jawa, tetapi juga masih ada keturunan Walisongo adalah Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II, yaitu Putri Selindung Bulan. Tokoh ini sering disebut dalam babadsebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Banyak tokoh-tokoh yang juga berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara, namun peranan Walisongo begitu besar dibanding tokoh-tokoh yang lain, sehingga membuat para Walisongo lebih dikenal namanya dalam sejarah penyebaran Islam di berperan dalam penyebaran agama Islam, mereka juga berperan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dakwah mereka berpengaruh terhadap kondisi masyarakat pada masa menyiarkan agama Islam, Walisongo memadukan budaya setempat dengan budaya Islam. Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam dalam kesenian tradisional maupun upacara adat istiadat setempat. Misalnya dalam wayang kulit mereka mengangkat cerita-cerita nabi, dalam syair-syair keagamaan seperti suluk menyisipkan puji-pujian kepada sang Pencipta, gendhing-gendhing Jawa dengan iringan gamelannya, dan pada upacara adat disisipkan doa secara Islam. Selain menarik perhatian, para wali tersebut menjadi akrab dengan yang dilakukan oleh Walisongo tersebut dinilai lebih komunikatif, sehingga tanpa terkesan menggurui pesan dan nilai-nilai Islam yang hendak disampaikan tersampaikan tanpa harus menghilangkan yang sudah ada. Usaha tersebut membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya budaya yang diajarkan oleh para wali bukan hanya bersifat keagamaan, tetapi mereka juga mengajarkan tentang ilmu hitung, pertanian, perkebunan, kesehatan, dan kenegaraan. Namun, inti ajaran yang ingin mereka sampaikan adalah masalah tauhid. Meskipun para wali tidak hidup dalam masa yang sama, tetapi mereka ada keterkaitan baik secara keturunan maupun seperguruan sebagai tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di tanah Gunung Jati yang sering disebut dengan nama Fatahillah atau Syarif Hidayatullah, menurut beberapa keterangan berasal dari Pasai Aceh. Ada pula yang mengatakan berasal dari keturunan Puteri Rara Santang dari Pajajaran yang menikah dengan Sultan Mesir Lembaga Research & Survey IAIN Wali Songo, 198219-20.Sedangkan, Sunan Kalijaga atau Raden Syahid disebut asli Jawa, tetapi juga masih ada keturunan Walisongo adalah Syekh Jumadil Qubro yang merupakan anak dari seorang Putri Kelantan Tua/Putri Saadong II, yaitu Putri Selindung Bulan. Tokoh ini sering disebut dalam babad sebagai salah seorang pelopor penyebaran Islam di tanah Jawa. Banyak tokoh-tokoh yang juga berperan dalam penyebaran Islam di Nusantara, namun peranan Walisongo begitu besar dibanding tokoh-tokoh yang lain, sehingga membuat para Walisongo lebih dikenal namanya dalam sejarah penyebaran Islam di berperan dalam penyebaran agama Islam, mereka juga berperan dalam bidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Dakwah mereka berpengaruh terhadap kondisi masyarakat pada masa menyiarkan agama Islam, Walisongo memadukan budaya setempat dengan budaya Islam. Mereka menyisipkan nilai-nilai Islam dalam kesenian tradisional maupun upacara adat istiadat setempat. Misalnya dalam wayang kulit mereka mengangkat cerita-cerita nabi, dalam syair-syair keagamaan seperti suluk menyisipkan puji-pujian kepada sang Pencipta, gendhing-gendhing Jawa dengan iringan gamelannya, dan pada upacara adat disisipkan doa secara Islam. Selain menarik perhatian, para wali tersebut menjadi akrab dengan yang dilakukan oleh Walisongo tersebut dinilai lebih komunikatif, sehingga tanpa terkesan menggurui pesan dan nilai-nilai Islam yang hendak disampaikan tersampaikan tanpa harus menghilangkan yang sudah ada. Usaha tersebut membuahkan hasil, tidak hanya mengembangkan agama Islam, tetapi juga memperkaya budaya yang diajarkan oleh para wali bukan hanya bersifat keagamaan, tetapi mereka juga mengajarkan tentang ilmu hitung, pertanian, perkebunan, kesehatan, dan kenegaraan. Namun, inti ajaran yang ingin mereka sampaikan adalah masalah para wali tidak hidup dalam masa yang sama, tetapi mereka ada keterkaitan baik secara keturunan maupun seperguruan sebagai tokoh yang berperan dalam penyebaran agama Islam di tanah Jawa.
403 ERROR Request blocked. We can't connect to the server for this app or website at this time. There might be too much traffic or a configuration error. Try again later, or contact the app or website owner. If you provide content to customers through CloudFront, you can find steps to troubleshoot and help prevent this error by reviewing the CloudFront documentation. Generated by cloudfront CloudFront Request ID rUQxWOumOCyaHNkdOB5ZjztzOU8A58YGDvSbxKzFOm0-cTztnd9FeA==
bapak spiritual walisongo adalah